Archive for Oktober 2014

GARA-GARA CONTEKAN

Added : 10.5.2014

Kalau boleh jujur, saya harus bekerja keras untuk merevisi cerpen ini. Tetapi…saya sangat menghargai usaha Anaz untuk membuat cerpen dan mengirimkannya kepada saya.
Sunyi, masing-masing berfikir dan berbicara sesama sendiri. Memeras otak, mengingat dan mengulang segala yang telah dibaca dan dihafal. Soal ujian dan kertas jawaban tergeletak berdekatan dengan pena di atas meja. Semuanya khusuk menelaah, mencari dan menulis jawaban.
Sesekali kulirik teman sebangkuku. Aku lihat, dia enjoy aja. Tidak gelisah seperti aku, juga tidak tampak risaua. Aku baru mengenalnya kemarin. Dia adik kelasku. Sang Juara Umum di setiap semester. Di saat ujian seperti ini kami memang duduk menurut absen dan tidak selalu dengan teman satu kelas.
Guru pendamping keluar. Kesempatan nih untuk bertanya kepada Asma yang duduk di belakangku. Aku memang tidak pandai dalam pelajaran kimia. Jangankan belajar, membaca bukunya saja aku sudah tidak paham. Mumpung ada jagonya di ruangan ini, akupun mencoba ambil kesempatan.
“Ssssttt… Asma!” Bisikku. Tak ada reaksi. Asma tetap menunduk.
“Asma!.” Aku kembali memanggilnya, pelan. Asma hanya mengangkat muka.
“Rumus persenyawaan, gimana?.”
“Nomor berapa?” Halah, ini sih pertanyaan basa-basi. Jawab aja kenapa sih. Aku menggerutu dalam hati.
“Tuh, nomor 41 yang essay…”
“Gak tahu, aku belum sampai situ.” Jawab Asma tak acuh. Uf! Lengkap sudah penderitaanku. Buntu! Benar-benar buntu. Asma memang terkenal pelit. Hukum orang pinter memang begitu, kali. Kayaknya, aku jarang banget ketemu orang pinter yang enggak pelit kasih contekan.
“Ugh….,” Aku mengeluh.
“Kenapa Lia?.” Suara Pak Dody tiba-tiba memecah hening.
“Enggak, Pak. Anu…. cuma mau pinjem pulpen.” Aku nyengir sambil garuk-garuk kepala yang memang tidak gatal.
“Pinjem pulpen, atau isi pulpen?” Pertanyaan yang mengandung dua arti. Malu aku di buatnya.
“Nih, Bapak ada pulpen lebih.” Pak Dody meletakkan pulpen di atas meja. Kemudian berlalu pergi.
Setelah Pak Dody menjauh, aku kembali memohon kepada Asma untuk memberikan rumus persenyawaan kimia. Tapi, hasilnya tetap nihil. Dia masih menggelengkan kepala. Kesal menghadapi sikapnya, aku diam. Berpikir sendiri, kembali mengingat dan mengingat. Meskipun hasilnya aku gak yakin.
“Lia, kenapa gak pake pulpen Bapak? ” Suara Pak Dody membuat jantungku berdetak kencang. Heran deh, pak Dody ini sebentar pergi sebentar datang. Sekarang, tiba-tiba sudah muncul lagi di depan mejaku.
“Boleh bapak ambil lagi pulpennya?” tanya pak Dody
“Silakan, pak.” Malu-malu aku menyerahkan pulpennya.
Mimpi apa aku semalam, dipermalukan di depan kelas. Ruangan tiba-tiba berisik dengan cekikikan yang ditahan. Kulirik lagi adik kelasku, masih khusuk memandang ke bawah, tepatnya di laci meja. Catatan-catatan panjang bergulung-gulung di situ. Dengan cermat dan teliti, dia membaca satu persatu kertas dan menuangkannya ke dalam kertas jawaban. Astaga! Dia bawa contekan.
*******
Waktu istirahat kujadikan kesempatan untuk sembunyi di perpustakaan. Membuka kembali catatan-catatan yang aku tulis dengan terpaksa dan tak jarang juga dengan mata tidak terbuka. Hasilnya, ibarat meletakkan cacing di bawah terik matahari. Catatan yang tidak rapi, di tambah dengan buruknya tulisanku. Lengkap sudah penderitaan ini.
Entah kenapa aku benar-benar tidak suka dengan semua pelajaran ilmu pengetahuan alam. Entah itu Biologi, Fisika, apalagi Kimia. Pokoknya, bawaannya bete melulu. Tapi, kupaksakan diri mengikuti gerak dan alur cacing kepanasan dalam buku catatanku. Siapa tahu, kali ini aku beruntung, meskipun sambil menghitung kancing baju untuk memberikan jawaban atas soal Pilihan Ganda. Dan, jurus terakhir untuk essay adalah pasrah, atau kosong tanpa jawaban.
“Lia! Kamu gak ke kantin?.”
“Enggak ah, males.”
“Ke kantin yuk! Temenin aku.” Naila duduk disampingku.
“Enggak ah, La. Males aku. Nih lihat, sudah tulisanku kayak cacing kepanasan. Catatan ku gak lengkap pula.” Aku mengeluh.
“Eh Lia, jangan mengeluh terus dong. Nyantai aja. Aku juga belum belajar.”
“Iya, kamu kan otaknya encer. Sementara aku? Lemot nih.”
“Astagfirullahaladzim… Lia, kok kamu ngomong gitu sih? Jangan suka memvonis diri sendiri. Nanti, kita tambah gak semangat belajar.”
“Abis, aku cape La. Setiap semester aku pasti pusing gini. Udah gitu, tuntutan dari orang tua untuk aku selalu mendapat ranking juga menambah beban.” Aku curhat. Lari semua yang ada di kepalaku, bayangan cacing yang kepanasan juga sepertinya sudah pingsan.
“Lia, kita hanya mampu berdo’a dan berusaha. Sedangkan, tawakal kita serahkan semuanya pada Allah. Tapi, apakah kita sudah yakin dengan do’a dan usaha kita? Eh, kok aku jadi ceramah gini sih?. Udah akh. Aku lapar nih. Kamu mau ikut ke kantin gak?.” Naila kembali meneruskan hasratnya untuk mengisi perut.
“Ogah La, aku udah makan tadi pagi. Eh, La …..aku mau ngomong sedikit.” Aku menarik tangan Naila.
“Apaan sih? Nanti keburu masuk lagi tahu!” Naila cemberut.
“Sebentar aja. Eh, kamu tahu gak juara umum kelas satu tahun kemarin?.”
“Latifah? Memang kenapa?”
“Kayaknya, dia nyontek deh setiap kali ulangan.” Aku mengecilkan volume suaraku, menengok kanan kiri.
“Kamu nih… Jangan nuduh gitu. Kamu juga nyontek khan…???.” Naila meledek.
“Yah, aku sih sebatas nanya teman aja, gak pernah bawa-bawa catatan kayak dia.” Aku membela diri.
“Yah, itu sama aja. Artinya nyontek juga. Dan jangan menuduh yang enggak-enggak. Nanti dia dengar lho. Kata teman-teman, dia tuh galak kalo lagi marah.” Naila meletakkan satu jarinya di depan mulut. “Sudahlah, aku mau ke kantin nih. Bentar lagi masuk.” Naila melirik jam tangannya.
“Yah, nasib! Gara-gara kamu, aku gak jadi pergi kekantin.”
“Napa, La?” Aku bertanya bodoh. Tiba-tiba, lagu Selamat Ulang tahun sebagai tanda istirahat sudah selesai mengalun di seluruh ruangan. Muka Naila berkerut-kerut cemberut. Aku jadi merasa bersalah, sementara buku catatan yang kubaca pun tak satupun yang masuk ke kepala.
“Sorry La. Kamu belum makan, ya?” Aku dan Naila jalan beriringan menuju ke kelas masing-masing yang kebetulan arahnya sama.
“Belum.” Mukannya memelas. Aku semakin merasa bersalah.
“Maaf deh, La. Tapi, di tasku ada roti. Air minum juga ada. Kamu ambil ya?”
“Makasih. Tapi, tadi pagi aku sudah makan roti.” Naila nyengir sambil masuk ke kelasnya. Huh, ngeselin juga nih anak. Tapi, aku selalu terhibur kalau ada di dekat dia.
********
Aku tidak bisa konsentrasi mengerjakan soal ulangan. Pikiranku terfokus kepada adik kelasku. Aku jadi suka memperhatikan dan menyelidikinya. Sepertinya, dugaanku benar. Latifa, sang juara umum itu benar-benar suka nyontek. Sering membawa kertas contekan. Bahkan, membuat catatan-catatan kecil di telapak angannya. Aku hampir tidak percaya. Betulkah apa yang aku lihat?
Ah, kalau memang iya. Sungguh kasihan Marwati, tetanggaku. Dia sekelas dengan Latifah. Anaknya cukup pandai, tekun dan gigih. Tidak suka mencontek seperti Latifah dan tidak malas seperti aku. Kalau Latifah ketahuan mencontek, tentunya beasiswa akan jatuh kepada Marwati. Sungguh tidak adil.
Sampai di rumah, aku masih memikirkan tentang menyontek. Meskipun dalam skala kecil, sebenarnya aku juga masih suka nyontek saat ulangan. Nyontek sama teman, tapi tidak sampai membawa catatan atau mencatat di tangan seperti yang Latifah buat. Tapi, apa bedanya? Toh sama-sama nyontek.
Malamnya, aku betul-betul belajar. Melihat dan mengingat juga sesekali menghafal. Kebetulan giliran mempelajari pelajaran yang aku suka, semuanya terasa ringan. Aku mempelajarinya tanpa paksaaan. Otakku terasa lebih cepat menangkap apa yang kubaca. ***********
Seperti biasa, suasana kelas sangat tegang saat ulangan semester. Aku membaca dengan teliti soal demi soal. Heran, sungguh heran dengan otakku. Meskipun aku sudah berusaha dengan sekuat tenaga saat belajar. Tetap saja hasilnya nihil. Aku tetap kehilangan kata demi kata yang aku hafal semalam. Ah, aku menyerah kalah. KulihatLatifah masih asik menjawab soal ulangan. Aku belum melihat ia menyontek baik dari kertas catatan maupun dari catatan kecil di telapak tangannya.
“Kenapa, teh?” Sadar diperhatikan, dia mengangkat kepalanya. Menatapku. Tertegun aku dibuatnya.
“Enggak, gak apa-apa. Kamu sudah selesai ngerjain soal?”
“Belum, the. Masih soal pilihan ganda. Teteh sudah?”
“Belum juga. Lupa nih…” Aku nyengir. Suasana kembali hening.
Aku kembali menekuni soal ulangan. Ada yang bisa kukerjakan. Tapi, lebih banyak yang tidak bisa kukerjakan. Aku malah lebih banyak menggaruk kepala. Mau bertanya dengan Asma, ogah akh! Pinter sih pinter, tapi gak ketulungan pelitnya.
Aku melirik Latifah. Dia mulai beringsut duduk lebih miring ke kiri. Aku kembali tertarik melihat gelagatnya. Latifah betul-betul serius memperhatikan catatan-catatan kecil yang ada di laci meja. Aku heran, gimana ceritanya kok, dia bisa menyalin jawaban-jawaban itu. Dan, apa iya setiap jawaban yang dia tulis pasti ada dan keluar di soal ujian.
“Fah, lagi ngapain?.” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Sssttt… Saya lihat catatan, teh…” Latifah menjawab sambil menangkupkan tangannya di atas mulut. Jawabannya membuat aku terkejut. Tanpa rasa malu dan tanpa tedeng aling-aling dia mengakui sedang melihat catatan. Heboh nih kalau masuk mading. Batinku.
“Kamu gak takut?.”
“Takut juga, the. Tapi, udah sering sih.” Sungguh di luar dugaan jawabannya.
“Bukannya kamu juara umum kelas satu?.”
“Iya, teh.” Tiba-tiba mukanya memerah. Menunduk malu.
“Lia! Kamu ngapain….???” Suara Pak Marno dari depan kelas. Waduh, apes aku! Kena lagi! Kenal lagi!
“Enggak Pak, lagi ngajarin adik kelas.”
“Ngajarin… atau kamu yang di ajarin?” Duh, penghinaan ini. Kalau saja para guru tahu bahwa juara umum kelas satu adalah tukang contek. Pengen rasanya aku teriak. Tapi, rasanya gak mungkin banget. Ah…. sabar…sabar…
*********
Tergesa-gesa aku menuju kelas 2 IPA 1. Pagi ini, ruang kelas diawasi oleh pak Munir. Pengawas paling kiler. Teman-teman banyak yang takut dengan gayanya ketika beliau menjadi pengawas. Tak bisa berkutik sedikitpun, tidak bisa menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku juga terkadang kesal dengan gaya sok kilernya beliau.
Hanya beberapa menit aku sampai, lagu selamat ulang tahun kembali mendengung di seluruh ruangan. Aku segera meletakan tas di depan kelas di ikuti oleh beberapa teman-teman lainnya. Segera aku duduk manis seperti anak TK yang menunggu dikasih jatah sarapan pagi. Aku tidak mau merusakan imej seperti hari-hari kemarin. Ditegur oleh dua orang pengawas. Sementara, Latifah dengan tenangnya meletakkan pantatnya di bangku. Kembali tangannya mengeluarkan catatan-catatan kecil, memasukannya dengan rapi ke dalam laci. Sungguh! Aku tidak bisa berbuat apa-apa melihat tingkahnya.
“Oke.. anak-anak, seperti biasa isi dulu nama dan nomor semester, kemudian baru mengerjakan soal. Kerjakan yang kalian anggap paling mudah, baru yang sulit. Tidak ada contek-mencontek atau tanya kiri kanan. Paham?” Suaranya memecah kesunyian pagi dalam kelas.
“Pahaammm…!!!” Koor kami seolah enggan menyela kata-kata Pak Munir.
Dengan tekun kubaca soal-soal ulangan. Aku terus berpikir. Rasanya, memang tidak begitu sulit untuk soal-soal kali ini. Tidak ada soalan jebakan seperti biasanya. Aku lega. Tidak sia-sia aku bergadang. Menggunakan Sistem Kebut Semalam.
Suasana kelas bener-benar hening. Hanya suara gesekan lembar-lembar kertas saat di bolak-balik. Bau kertas menyengat hidung. Kalau saja ini pelajaran Matematika atau Kimia, tentunya aku sudah hampir muntah dibuatnya.
Aku melirik gelagat adik kelasku. Betul-betul diluar dugaan. Untuk soal PPKN yang cenderung mudah saja, Latifah masih menyontek. Aku sungguh heran dengan kelakuan anak ini. Sepertinya, menyontek sudah menjadi candu. Ingin rasanya aku melaporkan perbuatannya kepada pengawas. Tapi, aku tidak punya keberanian.
Pak Munir meninggalkan kelas. Seketika, kelas ribut. Masing-masing mengambil kesempatan untuk bertanya kepada teman sekelas atau berharap kepada kakak kelasnya. Aku tidak ambil kesempatan, toh sama saja bertanya atau tidak. Aku kembali melirik Latifah. Begitu tenangnya, dia mengeluarkan catatan kecilnya. Merunut satu demi satu jawaban-jawaban yang dia tulis. Aku benar-benar heran. Halaah…! Kok, bisa-bisanya gitu lho. Kayaknya, semua yang dia tulis keluar semua dalam soal.
“Ifah, ngapain?.” Tanyaku.
“Biasa, teh…” Latifa tersenyum.
Huh, betul-betul menyebalkan nih anak. Muka tembok. Gak tahu malu! Aku semakin dongkol.
“Siapa yang sudah selesai, harap bawa ke depan.” Suara Pak Munir tegas dan lugas. Aku melirik jam di tangan. Masih ada waktu lagi sekitar tigapuluh menit. Lumayan, bisa memeriksa ulang jawabanku nih. Hanya beberapa soal pilihan ganda yang kuanggap keliru jawabannya. Aku kembali menekuni beberapa nomor. Sementara, beberapa teman-teman sudah mulai maju ke depan memberikan lembar jawabannya.
Tak lama, aku pun segera beranjak meninggalkan kelas. Melepas lelah dan menunggu teman-teman yang belum selesai mengisi jawabannya. Sekilas, kubuka kembali buku-buku catatan. Tiba-tiba aku di kejutkan dengan suara pak Munir yang tiba-tiba meninggi. Buru-buru aku melongok ke jendela kelas, di ikuti oleh beberapa teman-teman lainnya.
Aku sangat terkejut ketika menyaksikan Pak Munir berdiri dengan angkuhnya tepat di sebelah Latifah yang gemetar dan pucat mukanya sambil memegangi beberapa helai kertas catatannya. Sungguh aku terkejut melihat adegan itu. Rupanya, Allah telah menunjukan siapa yang tak jujur dalam menjawab soal.
Pelan-pelan aku menyingkir dari kelas. Mengingat kata-kata Naila tempo hari, “Lia, kita hanya mampu berdo’a dan berusaha. Sedangkan, tawakal kita serahkan semuanya pada Allah. Tapi, apakah kita sudah yakin dengan do’a dan usaha kita?”

Aku, Kau & Kenanganku (cerpen)

Added:10.5.2014

“Meta, aku sayang sama kamu. Aku mau kamu nerima aku sebagai cowok kamu.”
Ujar Adit. Seketika aku bingung apa yang harus aku katakan. Adit, cowok yang selama ini mewarnai hidupku telah mengatakan cinta padaku malam ini.
“Dit, aku juga sayang sama kamu. Tapi rasa sayang ini hanya sebatas sayang sebagai teman. Sorry, Dit. Kamu tau sendiri kan. Aku udah janji sama diriku sendiri, aku belum mau pacaran dulu. Maafin aku yah.” Dengan tersendat-sendat akhirnya aku mengatakan hal yang membuat Adit kecewa. Walau sebenarnya, aku tak enak hati untuk mengatakannya.
“Iya aku tau kok. Kamu fokus aja yah sama masa depan kamu.” kata Adit akhirnya setelah menguasai kekecewaan yang menjalar dalam dirinya.
“Tapi, kita masih berteman kan, Dit?” tanyaku pelan. Tapi di detik berikutnya aku tersenyum senang setelah melihat Adit menganggukkan kepalanya.
——————————-
Malam ini aku sedang sendirian di kamar, aku teringat akan kejadian malam minggu kemarin saat Adit mengucapkan kata cinta padaku. Udah seminggu dia gak sms aku lagi seperti yang sering ia lakukan. Kelihatannya Adit sedang sibuk sampai gak ada waktu buat sms apalagi telpon. Tanpa sadar, kupencet nomer HP-nya Adit. ‘Gimana ya kabar Adit’ pikirku dalam hati.
“Maaf…..nomer yang anda hubungi sedang berada……..”
DAMN!!! Kenapa dengan nomer HP-nya Adit ya? Kutekan lagi HP-ku, tulalit…… tulalit……. Aku gak ngerti, kenapa yah HP-nya Adit, padahal aku pengin mengajaknya nonton konsernya Drive minggu besok. Kebetulan banget Drive konser di Surabaya, tapi HP-nya malah gak bisa dihubungi.
Aku teringat lagi kejadian di malam itu. “Tapi kita masih teman ‘kan Dit?” tanyaku waktu itu, dan saat itu Adit menganggukkan kepala. Jadi ini gak ada hubungannya sama malam ‘penembakan’ itu. Mungkin aja HP-nya lagi low bat, atau dia lagi keluar kota, asumsiku akhirnya.
——————————-
Mungkin ini sudah saatnya
aku harus mulai melupakanmu.
Mungkin ini saatnya juga aku memilih
untuk belajar menjadi teman saja, buatmu.
Duar….. bagai disambar petir di siang bolong. Aku terbengong-bengong setelah membaca sms dari Adit. Setelah hampir 2 minggu tanpa kabar, akhirnya Adit sms, tapi isinya bisa membuatku kena penyakit jantung mendadak.
Aku jadi teringat lagi dengan kejadian ‘penembakan’ malam itu. Aku jadi merasa bersalah, sebenarnya aku bisa saja nerima Adit jadi cowokku, tapi ini bertentangan sama prinsipku. Apalagi selama ini asumsiku tentang cowok negatif semua. Menurutku cowok itu pembawa sial, cowok hanya diciptakan untuk melukai para cewek dengan gayanya yang merasa tidak berdosa.
Walaupun sebenarnya jauh di lubuk hatiku, aku ngerasa enjoy dengan Adit. Aditlah yang selalu menemaniku dikala aku ada masalah dengan keluarga. Teman disaat aku nyerah menjalani hidup ini. Aditlah penyemangatku, tapi aku udah bertekad dan berprinsip untuk tidak pacaran dulu.
Aku masih gak percaya dengan sms ini. Apakah Adit sampai detik ini masih mencintaiku….??
—————————-
“Maaf…..nomer yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan servis area…..” Brengsek! Ada apa sih dengan nomornya Adit.
Ini udah 1 bulan sejak kejadian malam minggu itu dan aku gak tau kabar Adit kayak gimana. Di-sms gak dibalas, padahal di sent item HP-ku tertulis jelas-jelas terkirim, ditelpon gak nyambung-nyambung. Argh…..!!! Adit kamu kemana seh?
Malam ini aku ngerasa kangen banget sama dia. Aku merasa kehilangan sosok yang ngertiin aku. Adit sepertinya menghindar dan menjauh dariku. Tapi kan dia tahu aku gak bakal bisa nerima dia buat jadi cowokku. Aku gak mau pacaran dulu. Pacaran kan bisa bikin gak fokus. Kenapa seh Adit kok bisa ambil keputusan kayak gini? Katanya masih mau jadi teman.
Aku benar-benar merasa kehilangan sosok Adit, Aditlah yang selama ini kupercaya untuk jadi teman. Deg…. deg…. deg….. jantungku berdetak saat mengingat Adit. Apa maksudnya ini? Gak mungkin aku punya perasaan ini. Aku hanya menganggap Adit sebagai teman, gak lebih dan gak kurang.
———————————
“Kamu jadi cewek, egois banget ya Met.” Deg…..aku gak ngerti apa yang dikatakan Nina barusan. Aneh, aku baru nyampe di rumahnya udah dituduh egois. Apa-apaan ini?!
“Maksud kamu apa Nin?”
“Masih berlagak bego lagi. Gara-gara kamu Adit gak mau kumpul-kumpul sama kita lagi.” Owh….jadi itu masalahnya, tapi apa hubungannya Adit sama diriku. Ya ampun, apa mungkin gara-gara kejadian malam itu yah? Ampun deh, pasti gara-gara penembakan itu.
“Adit cerita semua sama aku, Met. Kenapa sih gak kamu terima aja? Selama ini kan kamu deket sama Adit. Coba kalo kamu terima dia, kita pasti masih bisa kumpul-kumpul lagi kayak dulu.” Cerocos Nina ngasih nasehat. Nasehat apa yang nyalahin kayak gitu?
“Apaan she, Nin? Adit mulu yang jadi pembicaraan. Aku datang kemari kan pengin main, kok malah dapat kuliah.” Ujarku sewot.
“Ya, sorry…….aku kira kamu juga suka sama Adit. Selama ini kan kamu deket banget sama Adit.”
“Deket kan bukan berarti suka, Nin. Emang kenapa dengan Adit? Kenapa dia gak mau kumpul-kumpul lagi?” tanyaku akhirnya. Aku penasaran juga dengan Adit.
“Dia gak mau lagi kumpul-kumpul sama kita. Dia mau ngelupain kamu.”
Ternyata, itu keputusannya Adit. Tanpa sadar, jauh di lubuk hatiku aku merasa bersalah dan menyesal terhadap Adit. Aku kangen saat-saat bersama dia. Aku ingin kembali lagi pada kenanganku bersama dia saat kita masih berteman. Adit…. jadi inilah keputusanmu. Baiklah, aku akan terima semua keputusanmu.
“Met….kok ngelamun sih…..?” suara Nina terdengar lagi.
“HAH…….? Oh…..,.” Aku kaget dan sadar kalo aku masih dirumah Nina. Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan Nina.

”Met, masak sih kamu gak pernah ngerasain sedikit aja rasa cinta ke Adit?” Masih terngiang-ngiang perkataan Nina tadi sore. Sebelum pulang, Nina masih bertanya padaku tentang Adit.
Adit…. Adit….. Adit terus yang diomongin. Siapa seh Adit itu? Artis? Cowok metropolis? Kenapa harus Adit?
Ugh….kulemparkan tubuhku ke atas kasur. Kenapa seh Adit harus suka sama aku? Kenapa dia harus ngutarain cinta ke aku? Kayak gini kan jadinya. Semua gara-gara cowok. Gara-gara cinta. Tahi kucing semua! Argh…..jadi ini keputusanmu, Dit? Pergi gitu aja dengan alasan yang sangat klise, mencoba melupakanku. Adit brengsek! Cowok brengsek! Semua cowok brengsek!!! Kuutarakan kekesalanku sambil meninju teddy bearku.
Tapi, kaget juga saat mendengar berita dari Nina. “Dia gak mau lagi kumpul-kumpul sama kita. Dia berusaha ngelupain kamu.” Argh…..ingat kata-kata Nina, aku makin uring-uringan. Adit sialan! Masak hanya gara-gara gitu aja udah nyerah. Adit bodoh!!!
Malam semakin larut, akupun masih belum bisa memejamkan mata. Gimana bisa terpejam kalau hati masih uring-uringan. Semua hanya gara-gara Adit. Adit benar-benar super bodoh!!! Seandainya aja dia gak ngambil keputusan kayak gini. Seandainya dia mau bersabar dan sedikit berusaha, aku pasti akan mencoba untuk kompromi sama prinsipku. Tapi ternyata Adit emang bodohnya gak ketulungan.
——————————
HOAM…….! Aku menguap panjang. Minggu pagi yang cerah. Semalam aku ketiduran setelah capek memaki-maki. Hari ini aku gak ada acara. Hmm…. mau ngapain yah??? Biasanya kalo hari Minggu kayak gini Adit selalu sms, terus ngajak hangout bareng. Tapi sekarang, semua itu gak mungkin terjadi lagi. Adit hanyalah kenangan bagiku. Ingat Adit, membuat perutku mulas. Mending mandi deh, daripada pagi-pagi gini ngelamunin hal gak penting macam Adit.
Kumanjakan diriku di pagi ini dengan mandi selama mungkin. Biasanya aku mandi cuma menghabiskan waktu 15 menit, tapi ini sampai 2 jam. Ngapain aja? Ya pastinya mandi lah, masak makan di kamar mandi. Hmm… mungkin aku bisa memecahkan rekor MURI nih dengan mandi paling lama. Sambil kulantunkan lagu yang bobrok, kunikmati aliran air ke tubuhku.
“Desir pasir di padang tandus. Menyebarkan bau basah, detik demi detik kuhitung. Inikah saat ku pergi. Menuju puncak gemilang cahaya, mengukir cinta segenap asa. Menuju puncak impian di hati, bersatu janji tawa sejati. Pasti berjaya di akademi fantasi. Hey…hey….you…you…. I don’t like your girlfriend. Noway….noway….. I think you need new one. Hey…..hey……you…..you…… I don’t like your girlfriend.”
Dengan bermodal suara cempreng, aku berteriak tak karuan di dalam kamar mandi. Pasti kalo salah satu penyanyinya tahu aku nyanyiin lagunya parah kayak gitu dijamin bakalan pingsan deh. Selesai mandi aku masih bingung mau ngapain hari minggu ini.
——————————–
Akhirnya, setelah selesai memporakporandakan kamarku karena gak tau mau ngapain dan merasa bosan, aku memilih pergi jalan-jalan di salah satu mall di Surabaya. Untung aja rumahku juga gak begitu jauh. Tinggal jalan kaki 10 menit nyampai deh. Walaupun harus berkorban panas-panasan. Yang penting aku bisa ada kegiatan daripada harus bengong di rumah. Apalagi Mama-ku kadang reseh juga. Kalau aku di rumah biasanya bakal dimanfaatkan sebagai satpam penjaga rumah. Makanya mending aku pergi duluan sebelum disuruh jadi satpam.
Hal yang harus kulakukan nanti sesampainya di mall itu antara lain :
- Setelah nyampai, muter-muter dulu. Lihat-lihat ada counter baru apa gak sambil merhatiin manusia-manusia yang lucu-lucu. Hehehehehe
- Masuk ke Gramedia. Lihat-lihat juga. Mungkin aja ada koleksi buku terbaru. Atau siapa tahu komik Naruto serial terbaru udah keluar.
- Habis itu, ke KFC. Makan sambil baca buku (gak tau apa yang nanti dibeli) terus cuci mata, siapa tau ada manusia yang aneh. Kan bisa dijadiin bahan gosip besok di kampus.
- Setelah capek, ya…duduk. Liat jadwal bioskop biar besok bisa ajak anak-anak kalo ada film yang bagus. Baru deh pulang.
Semuanya udah terschedule, sekarang tinggal pelaksanaannya.
Sesampainya di mall, aku langsung melaksanakan rencanaku tadi. Aku puterin mall ini sambil merhatiin manusia-manusia yang ada. Ada yang berjalan cepat, ada yang jalan sambil telpon. Ada yang cekikikan sama temannya. Pasti itu satu genk deh. Ada yang jalannya diseret. Eh itu pasti dulunya mantan tentara, abis jalannya tegap banget. Ya ampun, ini orang kok bisa jalan tanpa ngelihat ya? Apa mungkin kakinya punya mata? Dengan santainya ini orang jalan sambil sms-an. Eh ada yang geleng-geleng kepala sendiri. Hahahahaha ini orang semuanya darimana yah? Lucu-lucu………
Setelah capek memerhatikan orang, kakiku bergerak ke Gramedia. Berburu buku tentunya. Aku pun langsung menuju ke rak buku bagian Komik. Wah…. Beneran! Ada komik terbarunya Naruto. Eh, kebetulan sekali Conan juga ada. Tanpa kusia-siakan waktu lagi, akupun mengambilnya dan pergi ke kasir.
Sekarang waktunya makan nih. Aku pun melangkahkan kakiku ke KFC. Sebelum sampai KFC, aku sempat merhatiin sekelilingku. Deg…..mataku lengsung tertuju ke counter boneka. Disitu ada sepasang kekasih yang lagi milih boneka. Yang cewek aku gak kenal, tapi yang cowok…….astaganaga…..!!! Aku gak percaya dengan penglihatanku. Kukucek-kucek mataku dan kukerjap-kerjapkan, berharap mataku lah yang salah. Tapi ternyata benar cowok itu….deg….deg….deg….jantungku berdegup kencang saat dia menoleh (dengan efek slow motion) dan terlihat wajahnya. Ya Tuhan, dia….cowok itu….gak mungkin….Jadi inilah keputusannya. Adit udah punya kekasih lain.
——————————–
Entah apa yang terjadi pada diriku. Setelah melihat adegan di mall tadi, aku langsung pulang tanpa meneruskan acara jalan-jalanku. Tanpa berpikir dua kali lagi, aku langsung memutar kakiku dan pulang. Aku gak mau melihat lebih banyak adegan tadi. Segitu aja udah cukup untuk membuatku terkaget-kaget dan terbengong-bengong kayak kebo congek.
Dalam perjalanan pulang, aku masih bisa menahan perasaan yang pengin keluar yang aku sendiri pun gak tahu perasaan apa ini. Rasanya pengin keluar aja. Argh…..Brengsek!!! Kutumpahkan kekesalanku akhirnya setelah sampai di dalam kamar dan tak lupa kukunci pintu kamarku. Aku pengin sendiri dan gak mau diganggu.
Adegan yang kulihat di mall melintas lagi. Adit bersama cewek lain dan aku gak kenal cewek itu. Ternyata kamu udah bisa melupakan aku, Dit. Begitu mudahnya kamu melupakan aku, melupakan kenangan kita. Jadi ini alasanmu mengapa kamu tak mau kumpul-kumpul lagi? Jadi ini alasannya kamu berusaha melupakan aku?
Adit bodoh! Kamu cowok terbodoh yang pernah aku temui di dunia ini. Sesak dadaku menahan amarah yang meluap-luap. Tak tahan lagi bendungan airmataku telah tumpah. Aku udah gak bisa menahan rasa sakit ini. Adit, kenapa kamu bisa mengambil keputusan kayak gini?
Aku hanya bisa menangis dan menangis saat kusadari bahwa akulah yang bodoh. Demi egoku, aku menyia-nyiakan Adit, cowok yang selama ini ngertiin diriku. Demi prinsipku yang tolol gak mau pacaran dulu sebelum meraih sukses, kini apa yang kudapat? Hanya penyesalan yang akhirnya harus kutelan mentah-mentah. Tapi aku gak sepenuhnya bodoh kok. Aku kan cuma membatasi diri biar gak terjerumus ke pergaulan-pergaulan buruk. Lagian kan aku juga pengin sukses dan selama pengamatanku, cowok itu hanya bikin reseh. Jadi aku gak sepenuhnya bodoh kan?
Adit tuh yang bodoh, masak gitu aja udah nyerah? Cowok kok gak semangat sama sekali, seenggaknya dia sedikit berusaha lah. Toh kalo dia mau berusaha aku juga bakal luluh. Pasti aku bakal mau berpikir tiga kali tentang prinsipku.
Setelah perasaanku rada reda dan tenagaku udah habis buat uring-uringan, aku pun beranjak untuk menyetel radio. Siapa tau dengan dengerin acara di radio bisa menenangkan perasaanku yang kacau balau. Kusetel radio di frekuensi 105.90. Apalagi kalo gak ebs fm. Jam segini kan acaranya ‘nine wan-wan’ dan biasanya penyiarnya gokil-gokil.
Saat kau membuka pintu hatimu
Mungkin aku telah jauh
Meninggalkan dirimu dan kenanganku
Rasa kecewaku padamu
Eh, lagunya siapa nih? Frekuensinya 105.9 berarti ini ebs dong, tapi lagunya siapa yah ini? Kayaknya lagu baru nih. Tapi liriknya menyedihkan. Aku pun mencoba mendengarkan lagu ini sampai selesai sambil melamun tentang Adit. Tentang aku dan kenanganku bersamanya selama kita masih bersama-sama sebagai teman.
Memang kau yang terindah
Yang pernah tercipta
Namun bukannya kau harus
Sia-saikan aku dengan segala tingkahmu
Rasa kecewaku padamu
Deg…. jantungku berdegup kencang mendengar lirik lagu ini. Aku serasa disindir sama lagu ini. Lagunya siapa seh?
Biarkanlah aku mengembara jauh
Menghapus lupa kecewa karna cintamu
Jangan kau sesali kenyataan ini
Karna ku bahagia lepas dari jeratmu
Ooo.. dari jeratmu ooo…
Jleb…. rasanya jantungku seperti ditusuk sama samurai. Aku benar-benar tertohok dan merasa seperti dibantai sama Kenshin si samurai pembantai 1000 nyawa. Aku baru sadar, mungkin yang dirasakan Adit sama seperti yang dirasakan vokalis band ini.
Lagunya siapa sih yang berani nyindir aku? Siapa juga penyanyinya? Tapi aku sadar juga, mungkin inilah suara hati Adit. Akhirnya, di detik berikutnya aku merasakan penyesalan yang sangat dalam. Kamu emang cewek terbodoh, Met! Makiku dalam hati.
Aku jadi ingat kata-kata Nina tempo hari, “Kamu jadi cewek, egois banget ya, Met?”
Ternyata selain bodoh, aku juga egois. Sekarang lihat apa yang udah kamu lakukan pada dirimu sendiri, Met? Kamu sendiri yang membuat Adit pergi dari kehidupanmu dan lihat apa yang kamu peroleh dari semua perbuatanmu? Hanyalah penyesalan. Aku makin tertunduk lemah dan dengan lesu tanpa semangat kurogoh HP dalam kantong celanaku. Tanpa pikir-pikir lagi, kupencet-pencet dan kutulis sms.
One day you will ask me
what i love more……
You or my life, and when i say my life.
You will walk away from me
without knowing……
That you are my life.
Dan sebelum kutekan tombol send, aku sempat berpikir untuk membatalkannya. Tapi kuurungkan lagi, karena aku gak mau diperbudak sama egoku lagi. Terserah Adit mau baca atau enggak yang penting aku udah mengakuinya bahwa aku suka sama dia.
Tapi beberapa menit kemudian, harapan agar Adit tau bahwa aku suka sama dia sirna sudah. Kini tinggallah kecewa yang makin lama makin merasuk ke sukma, saat kulihat laporan di HP-ku : Message sending failed.

Hilangnya HP Sang Primadona

Added : 10.5.2014

Matahari masih berada di ufuk timur, dan udara dingin sisa semalam masih serasa menusuk pori-pori, namun, dengan semangat 45 Antra mengayuh sepeda balapnya menuju sekolahnya, SMA Sapta Jaya. Antra memang lebih suka bersepeda daripada mengendarai sepeda motor, atau bahkan mobil seperti teman-teman lainnya. Alasannya sederhana, sehat dan hemat. Jarak rumahnya dengan sekolah lumayan jauh, sekitar tiga puluh menit perjalanan bila ditempuh dengan sepeda. Kota tempat tinggal Antra bukan kota besar seperti ibu kota yang selalu macet, dan dia cukup nyaman tinggal di kota ini. Yah, walaupun tak bisa dipungkiri polusi selalu saja ada dimana-mana sebagai dampak teknologi. Jadi, harap maklum. Antra menghentikan sepedanya ketika lampu merah di depannya menyala, dan timer masih menunjukkan perlu 30 detik lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Antra kembali mengayuh sepedanya, jarak menuju ke sekolahnya semakin dekat. Dari dulu Antra bercita-cita menjadi polisi, bukan polisi lalu lintas, tapi polisi bagian kriminal. Yah, mungkin itu semua karena ayahnya juga seorang polisi bagian kriminal yang cukup disegani. Sayang, ayahnya meninggal saat mencoba menangkap perampok bersenjata api. Banyak teman ayahnya bilang kalau ayah Antra adalah seorang polisi jenius yang mampu menyelesaikan kasus dengan baik.
“Ayahmu seperti detektif di novel-novel detektif, selalu berpikir dengan cemerlang dan penuh perhitungan,” kata mereka. Dan ayahnya adalah seorang yang pandai bergaul dan tak pilih-pilih teman, karena itulah dia mempunyai teman dari kalangan mana saja. Dari semua itu yang paling penting adalah ayahnya adalah seorang yang jujur.
“Nasi tak akan enak dimakan bila dibeli dengan uang yang tidak halal.” Itulah yang selalu dikatakan ayahnya. Semua hal tentang ayahnya itulah yang menyebabkan keinginannya menjadi polisi menjadi besar.
Setelah cukup lama mengayuh sepedanya sampailah Antra sampai di sekolahnya. Antra segera menaruh sepedanya di tempat parkir dan berjalan menuju kelasnya. “Ah, masih banyak waktu,” pikirnya.
Pelajaran pertama dan kedua hari ini adalah olahraga. Kelas Antra terletak di lantai satu, dan di sebelahnya persis ada kelas dua. Bila sedang duduk di depan kelas, dia dapat melihat dua kelas satu lain di depan, terpisah oleh jalan yang cukup luas, yang bila upacara bendera dipakai anak-anak kelasnya dan satu kelas lain untuk berbaris. Di depan kelas dan di dalam kelas terdapat pot bunga sebagai penyejuk ruangan. Di dalam kelas, satu pot kecil terletak di meja guru, yang letaknya lebih tinggi dari meja murid. Satu lagi, yang cukup besar berada di sebelah pintu masuk.
Sedangkan di luar, pot itu berada di kedua sisi tempat duduk panjang, yang biasa para siswa gunakan untuk melepas lelah atau menunggu guru jam pelajaran berikutnya masuk. Di dalam kelas itu pula terdapat lemari yang terbuat dari tembok yang lebih menjorok ke luar kelas, yang memang sengaja dibuat berbentuk lemari, sehingga hanya perlu menambahkan sekat-sekat untuk rak buku yang dibuat merapat dengan tembok bagian dalam lemari buatan itu. Lemari itu biasa digunakan para siswa untuk menyimpan tugas, buku panduan dari sekolah, buku ulangan, atau buku lama kakak kelas setiap generasi yang memang tidak pernah dibuang, hanya sekedar tradisi di sekolah itu agar buku-buku itu menjadi kenangan yang tertinggal di kelas itu, agar lemari itu tampak penuh buku.
Suasana kelas Antra masih cukup sepi, tapi dia sudah melihat sebagian temannya datang, beberapa diantaranya sudah memakai pakaian olahraga. Rupanya mereka sudah tidak sabar memulai pagi ini dengan olahraga.
Tak lama kemudian bel berbunyi tanda pelajaran dimulai, para siswa segera menuju lapangan olahraga yang cukup luas, yang juga biasa digunakan untuk bermain basket, futsal, juga upacara bendera. Guru olahraga sudah bersiap dengan membawa bola di tangan. Setelah berbaris, lari keliling lapangan, dan pemanasan mereka dibagi menjadi dua bagian. Siswa cewek bersiap untuk penilaian voli, sedangkan siswa cowok olahraga bebas, dan mereka memilih bermain sepak bola.
Sebelum bermain sepak bola, Antra berlari ke toilet. Dia sempat melihat temannya yang yang terlambat sehingga harus menjalankan hukuman. Selesai dari toilet dia menyapa temannya sebentar kemudian berlari ke lapangan.
Bel tanda jam pelajaran berbunyi, Antra dan teman-temannya tak peduli karena masih tersisa satu jam lagi untuk pelajaran olahraga ini. Teman yang terlambat dan terkena hukuman tadi sudah sampai di lapangan. Setelah meminta ijin mengikuti pelajaran dan meminta maaf karena terlambat, dia ikut bergabung. Sementara itu beberapa diantara siswa pria sudah berhenti karena kelelahan dan langsung menuju kantin, sebagian lainnya masih meneruskan bermain sepak bola.
“Tunggu! Uangku masih di dalam tas, aku mau ambil dulu!” Teriak Andika ketika teman-temannya yang sudah kelelahan berniat pergi ke kantin.
Setelah cukup lama menerjang, menendang, berlari, dan menghalau bola tiba juga saat mengakhiri semua itu. Dan para siswa segera menuju ke kantin melepas haus yang melanda, sekaligus menyegarkan tenggorokan yang sudah terasa kering, Rudi berjalan agak tertinggal sebentar karena masih sibuk mencari buku catatannya. Setelah mereka semua kembali dari kantin, di kelas terjadi keributan. Putri, cewek cakep yang menjadi primadona kelas, menangis. Teman-teman cewek lain sibuk mencari dan menenangkan cewek manis berambut panjang ini.
“Kenapa?” tanya Antra pada teman yang sudah duluan di kelas.
“Hand phone si Putri hilang.”
“Kok bisa?” tanya Riko.
“Mana aku tahu, kali aja lupa naruh dimana. Atau memang dicuri,” kata seseorang.
“Wah Andika mulai cari kesempatan tuh,” kata Riko sambil wajahnya melihat ke arah Putri yang dikelilingi cowok dan cewek.
“Andika kan memang dekat dengan Putri. Emang nggak boleh? Kamu iri, ya?” sindir Antra tanpa melihat temannya yang menggerutu.
“Padahal denger-denger Andika ditolak waktu nembak si Putri,” kata Riko lagi.
Antra hanya mengangguk mengerti.
“Yah, ini memang kesempatan yang baik untuk mendekati Putri lagi, biar kelihatan sok care,” ucap Riko.
“Bisa juga kesempatan untuk mempermainkannya,” gumam Antra.
“He?” Riko bingung mendengar kata-kata temannya ini.
Seperti yang bisa diduga para siswa melaporkan kejadian itu. Dan Pak Hadi, guru matematika mereka, memeriksa seluruh isi tas setiap siswa, dan sudah diduga pula bahwa hp Putri tak ada di tas setiap siswa kelas itu.
“Terlalu bodoh bila menyembunyikan hp itu di dalam tas. Pasti akan ketahuan,” gumam Riko.
“Kalau niatnya tidak untuk mencuri akan berhasil dengan baik,” balas Antra, yang melihat setiap raut muka setiap temannya.
“Bagaimana pendapatmu, Tra? Menurutmu siapa yang mencuri hp primadona kelas kita? Kalau menurutku sih, si Darma. Bukankah dia tadi datang terlambat, pasti dia lebih leluasa mengambil hp Putri.”
Antra terdiam sebentar, dahinya mengkerut, kemudian tersenyum kecil.
”Ya, kalau benar begitu pasti dia orang yang bodoh. Dengan mudahnya jadi orang yang dicurigai. Bukankah lebih baik mengambil tidak pada saat kita bisa menjadi tersangka utama?”
Riko hanya mengangguk-anggukan kepala. Setelah itu Pak Hadi memerintahkan agar setiap murid mencari di setiap sudut ruang kelas.
“Kenapa nggak di miscall saja, ya?” tanya Riko lagi.
Antra menggeleng-gelengkan kepala mendengar usul temannya itu. “Kalau pencurinya bodoh pasti akan langsung terdengar bunyi ring tone,” jawabnya singkat.
Andika, teman dekat Putri, mencari di lemari dan menggeleng-gelengkan kepala, sementara Budi yang duduk di belakang Antra mencari di laci guru, dan ada pula yang mencari di pot, mereka berpikir mungkin saja si pencuri memasukkan hp itu di tanah dalam pot besar itu. Sama halnya dengan para cowok, cewek-cewek juga ikut mencari di setiap sudut. Tak terkecuali Antra dan Riko, “Kelihatannya percuma aja, Tra! Paling pencurinya kelas lain.”
“Mungkin juga,” jawab Antra singkat.
Antra memeriksa lemari. Andika yang melihatnya berkata, “Tadi lemari itu sudah aku periksa, tapi tak ada di sana.”
“Oh, baguslah kalau begitu,” kata Antra sambil mendorong buku-buku itu merapat ke tembok.
Antra mendekati Putri yang air matanya masih menetes. “Memang hp kamu itu biasanya taruh mana, Tri?”
Putri hanya menunjukkan tempat ritsleting di dalam tasnya, letaknya bagian dalam. Orang yang tidak tahu tas model seperti itu pasti tak akan menyangka ada kantong di situ, apalagi pria. Tapi hal ini membuat Antra tersenyum puas.
Pencarian itu tak membuahkan hasil, Pak Hadi mencoba menenangkan Putri, dan dia akan membicarakan masalah ini dengan kepala sekolah. Mereka melanjutkan pelajaran yang hanya tersisa beberapa menit saja.
Bel istirahat berbunyi, para siswa masih ramai membicarakan hilangnya hp Putri. Berbagai dugaan menghinggapi benak para remaja di kelas itu.
Antra berjalan tenang menuju kantin, dia melihat Andika, teman dekat korban, duduk sendirian. “Gimana, Dik? Sudah ketemu belum hpnya?”
“Belum, Tra,” jawab Andika.
Antra tersenyum, “Kenapa nggak kamu kembaliin saja hpnya? Kasihan kan Putri.”
Andika terkejut dan memandang Antra.
“Apa maksudmu? Kamu kira aku yang mencurinya? Lagipula buat apa aku mencuri hp putri? Aku cukup kaya untuk bisa beli hp yang sama seperti itu, bahkan yang lebih mahal juga bisa. Kamu jangan ngaco,Tra!”

Antra masih tetap tenang.
“Uang bukan motif segalanya, teman. Kamu hanya ingin mempermainkan Putri, bukan? Setelah kamu ditolak.”
Andika kelihatan makin tegang.
“Seharusnya Darma yang alibinya paling tidak kuat? Dia datang terlambat dan kesempatan untuk mengambil hp Putri lebih besar. Lagipula dia miskin. Mungkin dia tergiur menjual hp itu. Kamu harusnya berpikir ke situ, Tra!”
“Yah, mungkin itulah yang diharapkan pelaku setelah dia melihat seseorang datang terlambat, dan orang itu Darma,” Antra diam sebentar, dia melihat raut muka Andika yang semakin merah. “Tapi aku bisa menjadi alibi bagi Darma. Aku sempat melihat dia dihukum saat aku ke toilet, dan aku sempat menyapa dia. Dia sudah memakai baju olahraga. Kemudian jarak dia datang ke lapangan dan bel jam pertama berakhir berbunyi tak terlalu lama. Lagipula dia cowok yang sederhana, atau kalau memakai kata-katamu miskin, walaupun menurutku itu tak pantas diucapkan seorang teman. Dia tak mungkin tahu ada kantong tersembunyi di tas Putri, kecuali dia cewek atau orang yang dekat dengannya dan tahu kebiasaan dimana dia menyimpan hpnya.”
Andika semakin gelisah.
“Sudahlah, mengaku saja, aku tahu dimana kamu menyembunyikan HP itu. Aku akan menjembatani pengakuanmu nanti sepulang sekolah, dengan begitu teman-teman sekolah tak akan tahu perbuatanmu. Dan Putri, aku tahu dia orang yang berjiwa besar, dia pasti memaafkanmu dan merahasiakan hal ini. Tentang bagaimana hp putri bisa hilang dan ketemu dimana aku yang akan mengarang ceritanya. Bagaimana?”
Andika masih diam.
Antra tersenyum kecil melihat Andika terdiam. Kemudian dia berdehem.
“Pertama ada tiga orang yang mencurigakan. Darma, kamu, dan Rudi. Dengan menyisihkan kalau orang luar yang mengambil hp itu, hanya kalian bertiga yang menjadi tersangka,”
“Kenapa kamu menyisihkan orang luar? Bisa saja kan mereka yang mengambil hp itu?!” seru Andika.
“Kalau mereka bisa keluar saat pergantian jam pelajaran, mungkin aku tak akan menyisihkan mereka. Tapi aku tahu kelas yang dekat dengan kelas kita semuanya mendapat dua jam pelajaran langsung, kemungkinan kecil bagi kelas sebelah kita menjadi tersangka. Untuk kelas lain yang hanya satu jam pelajaran saja, berjarak cukup jauh dengan kelas kita. Mereka pasti hanya menunggu pelajaran berikutnya dengan duduk di depan kelas. Lagipula letak kelas kita tidak dekat dengan toilet, atau tidak menjadi jalan menuju ke toilet, jadi jarang siswa lain lewat kelas kita. Itulah alasan aku menyisihkan orang luar dari kasus ini”
Antra lagi-lagi melihat Andika kemudian meneruskan kata-katanya.
“Seperti yang aku bilang di awal. Darma punya alibi dan aku alibinya, dan alibi bahwa aku ke toilet adalah Darma dan siswa lain yang terkena hukuman. Jadi hanya tinggal dua orang kamu dan Rudi. Rudi lolos karena hanya sebentar tertinggal di kelas sendirian sebelum menyusul semua siswa ke kantin. Lagipula Rudi tak punya motif, dia anak berada. Terakhir kamu, setelah melihat Darma datang terlambat, ide itu mungkin begitu saja tercetus di kepalamu. Kamu punya kambing hitam untuk rencana ini. Kemudian kamu menjalankan rencana yang secara spontan tersusun di kepalamu. Kamu berhenti sebelum jam olahraga berakhir dan pergi mengambil uang di kelas. Kamu bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Apalagi kamu tahu persis letak dimana Putri menyimpan hpnya, jadi bukan masalah buat kamu mempersingkat waktu. Sebelum pergi ke kelas kamu berteriak, ‘Tunggu! Uangku masih di dalam tas, aku mau ambil dulu,’ Seakan kamu memposisikan sebagai salah satu target tersangka, tapi itu alibi yang telah kamu siapkan. Buat apa kamu berteriak kalau kamu akan mencuri hp, lebih baik diam-diam, bukan? Dan kamu adalah orang kaya, dan dekat dengan Putri, maka kamu akan tereliminasi dari tuduhan itu. suatu perencanaan alibi yang hebat. Dan kamu pun sudah tahu siapa yang akan lebih dicurigai. Darma. Pertama, aku ragu apa motif pencurian ini. Jelas bukan uang. Setelah aku mendengar rumor bahwa kamu baru saja ditolak oleh Putri, aku langsung tahu motif pencurian ini.
“Hp itu kamu sembunyikan di belakang tumpukan buku lama milik kakak kelas, bukan? Merapat dengan tembok? Kamu yang pertama kali mencari di lemari dan menggeleng seolah-olah mengatakan bahwa hp itu tak ada di situ. Teman-teman percaya. Saat aku memeriksa lemari itu kamu langsung mencegahku dengan mengatakan bahwa hp itu tak ada di sana, karena kamu sudah memeriksanya. Dan itulah yang semakin menguatkan kecurigaanku. Saat aku merapatkan buku itu ke belakang, aku merasa buku lama itu seperti ada yang mengganjal, dari situlah aku yakin dimana hp itu kamu sembunyikan. Bagaimana, Dik? Bisa kita buktikan, dan nanti kamu akan malu sendiri, bila aku mengatakannya pada semua siswa di kelas.” Antra diam sebentar sebelum kembali meneruskan perkataannya,
“Sudahlah ini demi kebaikanmu sendiri. Aku tak akan melaporkan ini ke guru. Aku masih bisa mentolerir tindakanmu kali ini. aku tahu ini semua terjadi karena emosimu yang labil. Kali ini kamu benar-benar melakukan hal yang bodoh dan tak perlu, Andika.”
Andika berpikir cukup lama, raut mukanya benar-benar menunjukkan suatu ketegangan hingga akhirnya dia memutuskan menyetujui usul Antra.
Sepulang sekolah Antra, Andika dan Putri, yang dengan diam-diam disuruh Antra kembali ke kelas sendirian sepulang sekolah, berada di kelas. Setelah memberitahukan semua pada Putri, Putri marah, walaupun akhirnya dengan bujukan Antra dia memaafkan Andika.
Keesokan harinya, di kelas, Putri memberi tahu teman-temannya bahwa hpnya tertinggal di toilet dan seorang siswa sepulang sekolah mengembalikannya. Setelah kejadian itu, walaupun kasusnya tak tersebar, Andika merasa malu, dan akhirnya memutuskan pindah sekolah.
“Seorang pelaku kejahatan tak akan pernah merasa nyaman sebelum dia mengaku dan berusaha memperbaiki perbuatannya,” gumam Antra.

Keluarga (cerpen 10 lembar)

Added : 10.5.2014


KELUARGA

Malam itu, seorang gadis kecil terus memandangi langit gelap melalui jendela berjeruji, bertirai polos yang sengaja ia buka. Angin malam yang begitu dingin membelai, membuat merah sipu kedua pipinya. Dia  tak bisa tidur sedari sejam yang lalu. Tapi sebab itu bukan karena angin malam yang dingin. 


“Ding..iiin” suara seorang yang ia kenal. Sesegera mungkin gadis kecil itu menutup tirai rapat-rapat. “Maaf…” ucap si gadis kecil lirih. “kamu belum tidur Ros?” tanyanya.        

“Belum…” jawab si gadis kecil, pemilik nama ‘Rosa’ itu.

“Kenapa?”  
“Aku belum ngantuk kok. Maaf.. udah mbangunin Kak Lisa”

“Ya. Gak apa. Bener, kamu belum ngantuk?” tanyanya untuk yang ketiga kalinya..

“Iya” jawab Rosa tersenyum kecil. “Hmm…, ya udah kalau gitu. Kakak balik tidur lagi. Kamu juga cepat tidur Ros…” perintah Lisa.

“Iya Kak”
Sejenak gadis kecil memperhatikan punggung perempuan yang ia kenal dengan sebutan ‘Kak Lisa’ yang telah tertidur. Namun seketika terfikir kembali hal itu. Lagi.
“Kak… ” panggil si gadis kecil lirih, tapi tak ada jawab. “Kak Lisa… kata Fika. Kalo kita punya ibu, kita bisa makan makanan enak, terus kalo sakit, ‘ibu’ perhatian.  Apa aja yang kita mau, bakal dikasih. Aku tahu Kak… itu gak mungkin. Tapi aku mau diulang tahunku yang ke-6 besok bisa ketemu ibu. Kalau cuman nglihat aja, juga gak apa-apa.” Ungkap gadis kecil dalam monolog.
“Hmm…“ 

“Kak Lisa?”
Sebenarnya Lisa memang sudah terjaga sejak gadis kecil itu tak sengaja membuatnya terbangun.“Rosa… Kan Kakak dah bilang berapa kali biar kamu tahu. Tadi kamu bilang udah tahu, tapi tetap kerasa kepala. Sudah pasti kita gak bisa bertemu. Karena kita tidak punya… Terus, kamu gak usah  dengerin ceritanya si Fika.” Lisa dengan nada sedikit kesal, karena emosi yang belum stabil sebab sedari bangun tidur.
“Hm. Iya kak, maaf.” Rosa  yang menyesal. “Ya, udah. Gak apa-apa. Sekarang kamu tidur, besok kita kan bakal ada acara. “ Ungkap Lisa dengan senyum penuh arti. “Oh, ya Dek. Kalau besok Kakak gak bisa ngasih kado yang sesuai dengan yang Adek mau. Coba kamu minta sama yang di atas. Percaya deh, pasti dikabulin” saran Lisa.
“Bisa?” Tanya Rosa dengan polosnya. “Bisa dong!” Jawab Lisa yakin. Rosa tersenyum lebar.
Akhirnya Rosa pun memutuskan untuk segera tidur. Agar acara esok yang ia nanti-nanti sesuai dengan apa yang ia  harapkan.
Rosa memandang langit-langit kamar yang tak nampak, sambil memohon kepada Yang Maha Kuasa, “Semoga besok aku bertemu Ibu. Tapi kan mustahil. Kalo gitu, aku mau bertemu keluargaku. Tapi kan di sini juga udah ada keluargaku. Hah… terus, minta apa? Kalo gitu,” mohonnya dalam batin sembari berfikir matang-matang apa yang ia harapkan.
“Semoga aku bertemu dengan keluargaku yang sudah sekian lama tidak bertemu, siapapun! Kalo gak, yang penting keluargaku yang belum pernah aku temui juga gak apa-apa. Siapapun!”

                                                                        ***
01 Januari 2002 : 08.00
Pagi yang cerah menyambut secercah senyum itu. Di Panti Asuhan ‘Kasih Ibu’.
“Eii… bangun Ros. Udah jam 8, inget gak, ini hari apa?” Lisa mencoba membangunkan Rosa si pemalas untuk yang kesekian kalinya, kali ini dengan sekuat tenaga dan tanpa ampun.
“Hmm!” Rosa yang kesal karena Lisa membangunkannya dengan cara yang berbeda. Yaitu menggelitikinya. “Ahhh! KAK! Hahaha… GELI!” Rosa mulai tak tahan. Dan akhirnya, menyerah. “Iya, iya aku bangun. Udahan!” Pinta Rosa.
“Nah… anak pintar. Sekarang mandi, terus bantu-bantu yang lain di luar. Semua pada sibuk nyiapin acaranya. Hari ini bukan cuman kamu yang dirayain. Jadi jangan manja ya Adek Rosa” jelas Lisa. “Iya iya iya…” jawab Rosa.
Setelah selesai dengan urusan pembersihan diri, selanjutnya Rosa pun ikut membantu. Lisa menyarankan Rosa untuk membantu dalam urusan dekorasi bersama saudara sebayanya dan dibantu oleh beberapa Kakak yang juga menuntun mereka. Melipat kertas origami, meniup balon, menggunting kertas, dan memajang dekorasi yang telah siap. Semua melakukan tugas masing-masing dengan senang hati.
“Ros, hari ini bakal ada yang datang loh…” Tiba-tiba saja Bu Rahmah mengatakan sesuatu sembari menepuk pundak Rosa disaat ia sedang asyiknya meniup balon. Dan berhasil mengagetkan Rosa walaupun tak ada niat untuk melakukannya. “Ah! Bu Rahmah?”
 “Kamu pasti seneng.” Bu Rahmah melanjutkan ucapannya barusan. “Ada yang datang? Siapa?” Rosa sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya beliau katakan.
“Loh, belum tahu toh nduk?” tanya Bu Rahmah dengan heran. Rosa yang polos tetap diam. Mencoba menerka apa yang sebenarnya Bu Rahmah maksudkan. Tapi semakin ia berfikir, semakin ia tak mampu menemukan jawabannya.
“Ya sudah, kalo gitu. Nanti Rosa liat aja sendiri. Biar Surprise, ya?” Bu Rahmah menyarankan. “Emang, siapa Bu? Siapa?” Rosalia yang mulai dipenuhi rasa penasaran, sudah sampai pada puncak kesabaran.
“Bu Rahmah! Minta tolong ke sini sebentar, boleh?” terdengar suara wanita memanggil yang sumbernya berasal dari dapur. “Oh! Nggih Bu!” Bu Rahmah menyanggupi.  Dan akhirnya Bu Rahmah pergi dengan meninggalkan gadis kecil itu yang dipenuhi rasa penasaran.
Disaat yang sama, “Ros, temani Kak Lisa ke Supermarket  sebentar. Mau?” Lisa juga muncul disaat yang tak terduga. “Ah! Iya Kak!” Dalam waktu singkat Rosa melupakan percakapannya dengan Bu Rahamah.

***
01 Januari 2002 : 08.30
Rosalia Fernanda, sebentar lagi aku akan menjemputnya.  Ternyata makan waktu cukup lama untuk mencapai ke tempat itu. Sedangkan aku berangkat mulai pukul 7. Aku begitu gugup.
“Umurnya sekarang 6 tahun ya? Jadi anak itu pasti suka mainan” gumamku sembari mengemudikan mobil yang melaju dengan pasti. Dipikir-pikir, jarang sekali aku ini berkomunikasi dengan anak kecil. Bagaimana nantinya kalau aku bertemu Rosalia, berbicara, atau berperilaku padanya? Hhah… Sinta. Andai kamu masih ada di sisiku.
***
01 Januari 2002 : 08.50
Rosa dan Lisa telah kembali setelah keperluan mereka. Saat mereka sedang akan memasuki rumah, Rosa terus mengalihkan perhatiannya pada mobil hitam yang sudah terparkir sejak sebelum kembalinya mereka dari berbelanja.
“Ah… akhirnya kita sampai rumah. Capek banget ya Ros.” Rosa pun mengalihkan pandangannya pada Lisa.
“Mau minum Kak, ke dapur yuk!” pinta Rosa. “Ah! Ayo Dek.”

Keadaan saat itu begitu ramainya, hingga Rosa tak sempat untuk memikirkan siapa pemilik mobil itu.
Sekembalinya Rosa dan Lisa, semua sudah siap pada tempatnya. Tak lama mereka pergi, tapi urusan telah terselesaikan. Karena acara itu bertepatan setelah perayaan tahun baru, kemeriahan terompet masih bergema. Kebahagiaan pun juga turut bergema. Setiap tahunnya, Panti Asuhan ‘Kasih Ibu’ merayakan hari kelahiran mereka bersama-sama. Jika bulan kelahiran mereka bersamaan, maka mereka akan merayakan diawal, atau dipertengahan bulan tersebut. Kebersamaan yang begitu harmonis.
“Nah, ayo semua kumpul-kumpul sini! Nida, Oki, Eva, Dan Rosa. Kalian berdiri di belakang sini” perintah Bu Rahmah dan Rosa mengikuti arahannya.

Tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini acara perayaan ulang tahun terasa lebih meriah.
Rosa sedari tadi hanya terdiam, sedang yang lain menyanyikan lagu ulang tahun dengan gembiranya. Rosa memandang sekitar, entah apa yang ia cari. Dan disaat itu, ia menangkap satu sosok yang menarik perhatiaannya sama seperti saat ia memperhatikan si mobil hitam. Seorang lelaki berkacamata dengan setelan kemeja putih serta jas hitam. Dalam keramaian, sosok itu terbilang mencolok. Cukup lama Rosa menatap tajam pada lelaki berkacamata itu.

Tak selang berapa lama, sosok itu menyadari bahwa Rosa sedang memperhatikannya.
“Ros, kok diem aja? Ikut tiup lilinnya juga ya.” Bu Rahmah menegur Rosa yang sedari tadi hanya diam, seakan tak menikmati acara tersebut. Membuat Bu Rahmah khawatir.

Rosa tersadar. Kemudian ia pun juga mengikuti ketiga saudaranya meniup lilin.

Setelah usai, Rosa berbalik lagi mengalihkan pandangannya pada sosok itu. Namun hasilnya nihil, ia tak menemukannya.
                                                                        ***
“Rosa! Ayo, ke sini!” terdengar suara Bu Rahmah  dari teras depan. Rosa yang sedang asyik dengan  saudara-saudaranya, lalu mencari sang pemilik suara. “Itu Bu Rahmah di Teras depan” Lisa mengerti maksud gerak-gerik Rosa. Rosa tersenyum. “Makasih kak.”
Rosa pun menyusul Bu Rahmah yang berada di Teras depan, tak tau apa yang sebenarnya Bu Rahmah inginkan. Rosa hanya menyanggupi.

“Bu Rahmah, ada a..” belum selesai ia bertanya, Rosa mengalihkan pandangannya pada seorang selain  Bu Rahmah, yang juga ikut duduk di kursi Teras depan itu.
Sosok yang beberapa waktu lalu  Rosa lihat, yang kemudian hilang dan sekarang sosok itu berada dihadapannya. “Hai Rosalia!” Lelaki itu menyapanya dengan senyuman ramah tanpa pamrih. “Ah. Ee… ehm… hha.. lo!” Rosa berusaha membalas sapaan orang tersebut, tapi terasa begitu sulit baginya yang baru mengenal seseorang. Bu Rahmah tersenyum, memaklumi Rosa.


“Rosa masih inget kan? Waktu Ibu bilang, bakal ada yang datang.” Bu Rahmah angkat bicara. Akhirnya Rosa teringat kembali perbincangannya dengan Bu Rahmah. “Oh, yang waktu itu. Terus siapa yang Bu Rahmah maksud?” Rosa mulai bersemangat kembali.
Bu Rahmah melihat ke arah yang tertuju pada lelaki berkacamata itu. Rosa pun juga mengikuti arah pandang Bu Rahmah. Tapi Rosa tetap tak mengerti isyarat yang Bu Rahmah berikan. Akhirnya Bu Rahmah memberikan penjelasan. “Dia orang yang Ibu bilang, ‘akan datang ke acara ulang tahun mu’.”


Lelaki berkacamata itu tersenyum kembali, lalu ia beranjak dari kursinya dan bersimpuh menyejerkan tingginya dengan Rosa. Sontak Rosa sedikit ragu dan mundur selangkah dari tempat ia berdiri sebelumnya.


“Ah, maaf sudah mengagetkanmu. Rosalia, perkenalkan. Namaku Reza. Saudara dari Ibu kandungmu, atau kamu juga bisa menyebutku ‘Paman’. Itu terserah Rosalia sendiri mau memanggilku dengan sebutan apa. Tapi sebelumnya Paman mau mengucapkan ‘selamat ulang tahun yang ke-6’ semoga menjadi yang terbaik dari yang terbaik.” Lelaki itu berkata sembari menyerahkan sebuah kotak besar yang terbungkus kertas berwarna merah muda dengan pita merah di atasnya.
“Ini… “ Rosa merasa tak yakin kotak itu ditujukan padanya.

“Untuk kamu Ros.” Lelaki itu meyakinkannya sekali lagi. Bahwa benda itu kini milik Rosalia seutuhnya. Rosalia begitu senang, namun ia malu mengekspresikan kesenangannya pada orang asing yang ia kenal dengan sebutan ‘Paman Reza’. Meskipun ia baru mengenal lelaki itu, tapi ia yakin bahwa Paman Reza adalah sosok orang yang begitu dermawan.
Bu Rahmah tersenyum melihat keakraban mereka. Namun juga ada sedikit kesedihan dalam hatinya. “Rosa. Bagaimana jika Paman Reza yang merawatmu?” Tiba-tiba saja Bu Rahmah mengatakan suatu hal yang menarik perhatian Rosa.“Maksud Ibu?”


“Sebenarnya, Pamanmu kemari bukan hanya untuk merayakan ulang tahunmu.” Bu Rahmah setengah menjelaskan. “Paman kemari, juga untuk menjemputmu.” Reza melanjutkan penjelasan Bu Rahmah. “Menjemput?” Rosa masih belum mengerti maksud dari pembicaraan mereka.
“Kamu akan tinggal bersama Paman Reza, di Rumahnya. Dia yang akan merawatmu menggantikan Ibumu. Mengadopsimu. Dan juga, karena pamanmu masih berhubungan dengan keluargamu yang sebelumnya. Jadi… ” Bu Rahmah memberi maksud. “Tapi aku juga punya keluarga di sini. Kak Lisa, Bu Rahmah, Fika, Nida, Eva… kakak dan adik-adik yang lain juga. Semua keluargaku” Rosa juga mencoba menjelaskan.

Bu Rahmah mengerti keadaan Rosa. Tapi ia juga tahu betapa ingin Rosa bertemu dengan keluarganya yang sesungguhnya.  
“Tapi, Paman itulah keluargamu yang sesungguhnya Rosa.” Lisa muncul, di tengah perbincangan mereka. “Mereka, adalah keluargamu yang sudah ada, sebelum kamu bertemu kami. Keluarga yang sesungguhnya. Kalau mereka tidak ada di dunia ini, kamu juga tidak mungkin ada. Dan kamu juga tidak akan bisa bertemu kami. Jadi, kembalilah ke keluargamu dan jangan lupakan kami di sini. Ok? Rosa.” 


Sesaat Rosa mampu menahan tangisannya. Tapi, kemunculan Lisa membuatnya tak kuasa menahan tangis. Sebentar Reza melihat ke arah Lisa dan melemparkan senyuman dengan maksud berterima kasih, Lisa pun juga membalas senyuman itu.
                                                                        ***
“Semua sudah?”

“Iya.”

“Nggak ada yang ketinggalan?”

“Ya, kayaknya sudah nggak ada Kak.”
“Rosa. Sudah siap?” Bu Rahmah masuk ke kamar Rosa  untuk memastikan kesiapannya. “Iya. Sudah.” 

“Lisa. Tolong bawakan sebagian barang Rosa. Terus simpan di bagasi mobil yang terparkir di depan.” Perintah Bu Rahmah. Tanpa membuang waktu Lisa segera melaksanakan tugasnya. Bu Rahmah dan Rosa juga tak ketinggalan segera menyusul.
Seluruh penghuni Panti Asuhan ‘Kasih ibu’ telah berkumpul di Teras depan sejak tadi. Menunggu Sang tokoh utama keluar. Reza juga tak kalah. Ia menunggu keluarnya Rosa, sambil membantu membawakan barang keperluan Rosa yang kemudian ia singgahkan di Bagasi.
Dan Sang tokoh utama pun keluar. Semua diam. Hening menambah kepekatan udara malam. “Mulai hari ini. Rosa akan tinggal bersama Pamannya. Dia akan dirawat oleh keluarganya langsung.” Bu Rahmah memberi kumandang informasi. 

Sekali lagi Rosa tak mampu menahan tangis. Dan yang lain pun ikut merasakan apa yang Rosa rasakan. Kemudian Rosa memeluk dan bersalaman dengan mereka, satu per satu. Sebagai tanda perpisahan, serta perjumpaan bagi mereka kelak nanti.

Berlanjut, Bu Rahmah, dan terakhir Lisa. “Baik-baik ya… jangan ngrepotin Pamanmu. Karena dia sendiri yang akan menjaga kamu. Kalau ada waktu, sempatkan untuk singgah ke sini. Semua pasti rindu sama kamu ‘si cerewet’. Hehehe… “ Lisa menasihati Rosa untuk kesekian kalinya.
“Rosa. Pamanmu sudah menunggu di mobil.” Bu Rahmah mengingatkan. “Ah. Iya Bu.”

Rosa pun beranjak dengan sedikit perasaan tak rela. Lalu ia masuk dan duduk tepat di sebelah bangku kemudi. “Maaf Ros. Paman, nggak bermaksud memisahkan kamu dengan keluargamu.”

“Nggak apa-apa. Lagi pula aku sudah memutuskan pilihanku. Paman kan juga keluargaku” Rosa berusaha untuk tersenyum dan menahan kesedihannya. Karena, jika ia terus terlihat menyedihkan, itu hanya akan membuat Pamannya merasa bersalah.
“Rosa, Daaah..! Hiks.” Fika melambaikan tangannya sambil menahan isak tangis karena ditinggal oleh saudara yang juga sudah seperti sahabat karib baginya. Melalui jendela mobil yang terbuka, Rosa pun ikut melambaikan tangan. “Terima kasih semua.” Dan kaca mobil menutup kembali.
                                                                        ***
“Tak terasa, waktu begitu cepat. Bagaikan aliran air, dan aku adalah daun kering yang terbawa olehnya. Begitu rapuh, juga mudah terombang-ambing oleh arusnya. “

“Dan kini, aku di sini. Jika ku putar kembali waktu, dulu seakan seperti mimpi dalam tidurku.” 

“Tuhan mempertemukanku dengannya, kini seakan peristiwa itu terasa biasa bagiku.” 

“Tapi, jika aku memutar kembali waktu dulu. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, peristiwa itu seakan ajaib bagiku. Luar Biasa.”

“Sabtu, tiga puluh satu Desember. Dua ribu sebelas… “ Aku Rosalia Fernanda, siswi kelas 3 SMP. Kehidupan baru ku berawal sejak aku tinggal bersama Pamanku, Reza Anan (32). Dia seorang penulis novel. Paman yang cukup bertanggung jawab atas hidup dan mati keponakannya. Kurang lebih sudah 9 tahun lamanya. Sebelum aku tinggal bersamanya, sudah ada seseorang yang berada di sisinya. Tapi kini, sosok itu telah tiada tidak lama sebelum ia menjemputku dulu. Sosok yang dicintai oleh pamanku, istri yang begitu dicintainya.
“Rosa! Sudah sediakan piring- gelasnya di meja makan?”Pemilik suara yang berasal dari dapur itu adalah Paman. Hari ini giliran Paman yang membuat makanan. Kami bergiliran, sesuai jadwal piket yang kami sepakati. “Ah. Sebentar Za. Paragraph terakhir!” Dan sekarang aku juga sibuk mengetik untuk ‘Enter’ blogku. “Sedikit lagi.”
“Ros. Mana piringnya?” Dan sekarang Pamanku telah kembali dengan masakannya yang siap untuk dihidangkan. Sedangkan aku belum menyiapkan satupun piring dan gelas di atas meja. “Maaf , Za… “ Aku memasang tampang memelas padanya. “Shut Down laptop mu, sekarang. Lalu singkirkan dari meja makan. Kamu bisa melanjutkannya nanti.” Paman ku ini orang yang baik. Tapi walaupun begitu, tidak selalu aku bisa bermanja-manja padanya. Dia orang yang disiplin waktu. Jadi aku sering sekali dinasihatinya. Pernah sekali aku dimarahinya. Dan itu membuatku benar-benar trauma. Dia menyeramkan sekali kalau marah.
“Hm… enak Za. Makin hari makin enak. Level masak Reza bertambah lagi ya...? “ Aku mencoba basa-basi. “Mau membuka pembicaraan atau mengalihkan pembicaraan?” Paman ku ini juga orang yang berlidah tajam dan dingin. “Iya iyaa… Aku kan sudah minta maaf tadi. Oh ya Za. Hari ini tanggal berapa ya?” Aku mengganti topik obrolan, mencoba memancingnya.  Dia ingat nggak ya?


“Hhm… tanggal 31. Kamu itu ya. Segitunya banget, sampai lupa tanggal. Makanya, liburan gini jangan males-malesan aja. Cepat pikun nanti, masih kecil sudah pikun. Ponakanku tersayang. Ckckck” Ini dia sifat yang paling aku tidak suka darinya. Jika berbicara, asal ‘ceplas-ceplos’. Terutama jika itu tertuju padaku. Nggak ada manis-manisnya. Dan dugaanku memang benar, DIA LUPA HARI ULANG TAHUNKU!? Atau lebih tepatnya dia tidak peduli. 
“Za. Sekali-kali, aku mau berangkat ke sekolah tanpa harus diantar.” Aku mengubah topik obrolan lagi, tapi kali ini tanpa basa-basi. “E? Kenapa tiba-tiba?” sendoknya terhenti saat akan masuk ke dalam mulutnya. “Aku mau coba untuk lebih mandiri.” Aku mencari alasan. “Tapi kamu masih SMP, dan belum boleh bawa kendaraan pribadi. Kalo naik motor di sekitar rum…” “Iya. Kalau itu aku juga tahu. Aku akan berangkat ke sekolah dengan angkutan umum kok.” Aku berkata sambil menatap piringku yang masih terisi oleh makanan, sebab aku tak berani menatap wajahnya langsung. Dia marah tidak ya? Aku melakukan hal ini agar tidak merepotkan Pamanku, sebab dia telah memberikan segalanya untukku. Rumah, makan, pakaian juga pendidikan. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Kkrekk!  Aku mendengar deritan kaki kursi, yang ternyata itu kursi Pamanku. Dia beranjak dari kursinya, dan berdiri meninggalkan meja makan.  Dia benar-benar marah!?“Reza… ah, bukan maksudku Paman! Paman marah hanya karena aku tidak ingin diantar Paman lagi ke sekolah? Maaf…”  Aku pun juga ikut beranjak dari kursiku lalu ragu-ragu aku mendekatinya. Khawatir nanti jika aku terkena imbasnya. Dia membalikkan badan dan melihatku sebentar “Ha? Untuk apa aku marah? Aku mau ambil minum, kamu lupa menyediakan minum di meja makan tadi.” Huft.. Ternyata mau ambil minum. Aku kira dia marah. Rasanya aku malu sendiri karena perbuatanku.
“Kamu itu, kalo ada maunya manggil-manggil ‘Paman’. Ya, sudah. Itu terserah kamu kalo mau berangkat tanpa harus diantar. Tapi kamu harus bisa jaga diri, ya?” Tanpa ragu aku mengindahkan perintahnya “Siap Bos!” Sudah 9 tahun lamanya, dan aku bahagia bisa bertemu, juga berada di sisinya. Semoga aku bisa terus bersamanya. Semoga.
***
Rosalia Fernanda… Aku begitu menyayanginya. Seperti aku menyayangi Sinta. Hingga aku takut jika harus kehilangan dia, seperti disaat aku kehilangan Sinta. Begitu banyak hal yang kusembunyikan darinya. Tentangku, juga tentang keluarganya. Tapi, ‘sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium baunya’. Dan benar, itu menjadi kenyataan yang harus kuhadapi saat ini.
            Siang itu ibuku tiba-tiba datang ke rumah. Dia sudah mengetahui keberadaan Rosa yang aku adopsi sejak awal. Ku kira kedatangannya untuk memastikan keadaan Rosa. Tapi tidak untuk hari ini. “Aku ingin menanyakan beberapa hal terkait Rosa. Kamu pasti sudah tahu tentang hal ini. Dan kamu menyembunyikan hal ini dari ibu, Reza. Dan pasti, juga menyembunyikan hal ini dari Rosa” Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, juga tak bisa menentang kebenaran itu.
            Ruang tamu yang tak begitu luas ini membuatku semakin terpojokkan. “Ibu Rosa masih hidup. Tapi kamu mengatakan pada ku kalau Ibu Rosa sudah tiada. Apa maksudmu? Reza, kamu tahu sendirikan? Kita bukan keluarga asli Rosa. Sampai kapan kamu mau menyembunyikan hal ini? Kalau dia sampai tahu, apa jadinya nanti. Dia sudah pasti akan sangat kecewa. Reza? Jangan hanya diam, jelaskan yang sebenarnya!”
            Tiba-tiba saja aku mendengar langkah kaki seseorang. Memasuki rumah, dan berhenti tepat di ruang tamu. “Rosa?” meskipun suara Ibu yang lirih, aku langsung tersadar. Rosa yang sepulang dari sekolah. Tapi dari jam berapa ia pulang?
            Gadis itu terus menatapku tajam. Seakan sedang menatap sesuatu yang ia benci. Wajahnya memerah seakan ia menahan sesuatu yang ingin ia utarakan. “Pembohong!” kata yang pertama ia ucapkan adalah ‘pembohong’. Ya. Aku memang pembohong, penipu, pembual. Rosa beranjak dari tempat ia berdiri, meninggalkanku yang hanya diam dan tak dapat berkutik lagi.“Reza! Kamu mau diam sampai kapan? Kalau saja sejak awal kamu mau menjelaskannya baik-baik dengan Rosa, tidak akan ada kejadian seperti ini. Jelaskan alasanmu padanya. Dia pasti akan mengerti. Karena dia bukan anak kecil lagi.”
            Akupun mengindahkan permintaan Ibu. Ibu benar, aku tidak bisa terus diam seperti ini.  Aku berjalan dengan cepat menuju lantai 2, kamar Rosa. Aku berusaha untuk tetap tenang dan tak mengacaukan keadaan. Tokk, tokk, tokk.. “Rosa?” Tapi tak ada jawab. Aku mencoba membuka pintunya, tapi tak bisa. Dia menguncinya dari dalam?“Rosa. Dengarkan penjelasanku. Ku mohon. Ini yang terakhir. Dan aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi. Jadi aku mohon dengar penjelasanku.” Walaupun aku baru akan menjelaskan , tapi tetap tak ada jawab.
“Dengar, aku akan menceritakan tentang Ibu mu juga alasan mengapa aku mengadopsimu. Jadi ku mohon, dengarkan. Itu… dulu sekali. Aku, Sinta, Ayahmu juga Ibumu adalah teman dekat. Lebih dari itu, kita sudah seperti keluarga. Dan disaat Ibumu sedang hamil muda, Ayahmu meninggal. Akhirnya, karena keadaan ekonomi juga karena tak ada kerabat yang mau menerima kalian, Aku dan Sinta berinisiatif merawat Ibu mu hingga kau terlahir. Ibumu, dia ingin bisa menghidupimu dengan usahanya sendiri. Dan kemudian pergi meninggalkan rumah kami untuk membangun rumah sendiri, karena dia tak ingin akan lebih merepotkan kami lagi. Tapi, selang beberapa tahun kemudian, dia mengirimkan surat. Dia mengakui belum sanggup untuk menghidupimu dan menitipkanmu di Panti Asuhan, dan memohon pada kami untuk menjemputmu disaat kamu berumur 6 tahun, dan jika dia sudah merasa sanggup untuk menghidupimu, dia akan menjemputmu. Aku dan Sinta saat itu begitu antusias untuk menjemputmu, tapi beberapa bulan sebelum kami akan menjemputmu. Sinta meninggal. Dan aku sendiri. Tapi aku tetap menjalani amanah Sinta untuk merawatmu…”
            Kreeek.. pintu kamar nya pun terbuka. Dia terus menundukkan kepalanya. Aku mencoba menyentuh wajahnya dan menengadahkannya.Tampak wajahnya begitu mendung. Matanya merah bengkak, menandakan dia sehabis menangis. Dia menatapku kosong. “Maafkan aku Rosa… “ Dia lalu menepis tanganku dari wajahnya. Namun tetap menatapku kosong. “Apa aku sebegitu tak bergunanya. Sampai dia membuangku?” Air itu ternyata tak cukup berhenti, setetes, lalu menyusul tetesan lain dari ke-2 pelupuk matanya. “Dia melakukan itu bukan untuk membuangmu. Tapi dia hanya belum mampu untuk membahagiakanmu. Dia sudah berjanji akan menjemputmu kelak. Jadi percayalah.” “Lalu, kenapa kamu menutupi kebenaran ini?”
            “Aku takut. Kalau-kalau kamu tau aku bukan keluargamu. Kamu tidak akan mau tinggal bersamaku.” Aku tak bisa menatapnya. Aku benar-benar pengecut. “Tapi kamu bilang. ‘Aku, sinta dan ibumu sudah seperti keluarga’. Yang berarti aku juga keluargamu. Kan?” Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Tapi tiba-tiba saja, tanpa ku duga. Dia memelukku. “Aku memaafkanmu. Jadi ku mohon Reza! Jangan pernah menutup-nutupi sesuatu dariku, atau berbohong padaku lagi! Aku menyayangimu, seperti aku menyayangi Ibu. Berjanjilah!”
            “Ya. Aku berjanji Rosa. Terima Kasih sudah memaafkanku. Aku juga menyayangimu.”

- Copyright © Mura no gakusei - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -